Kamis, 22 Agustus 2013

Perkembangan Ilmu

Pengetahuan telah berkembang sejak adanya manusia. Tetapi pengorganisasian ilmu oleh bangsa Yunani dengan pendekatan silogistik merintis perkembangan ilmu secara sistematis, sekurang-kurangnya, sebelum masa Renaissance yang ditandai oleh Galileo Galilei dengan teropong bintangnya. Sampai dengan saat ini, logika deduktif mengembangkan teori-teori yang terlepas dari pengalaman empirik. Bahkan Aristoteles pun tak terhindar dari kesalahan ketika ia menyatakan beberapa perkiraan yang mengandalkan logika belaka, dan kemudian ternyata salah.

Francis Bacon pada permulaan abad XVII memelopori penggunaan metode induktif karena menurutnya alam jauh lebih misterius dibandingkan kepelikan
argumen. Galileo, Lavoiser dan Darwin menggunakan bukti-bukti empirik sekadar untuk menguji kebenaran hipotesis mereka. Tetapi pengumpulan keterangan yang cukup mengenai sesuatu tanpa hipotesis terlebih dulu sekadar untuk mempertahankan kesempurnaan obyektivitas sungguh tidak efisien maupun efektif. Tanpa hipotesis sebelumnya, seorang peneliti akan cenderung tidak selektif dalam mengumpulkan data. Perumusan masalah dan kejelasan formulasinya akan membuahkan hipotesis yang membuat langkah pengumpulan data dan eksplorasinya tepat guna. Tetapi metode induktif pun tidak memuaskan pada tingkat kemajuan ilmu sebagaimana diragukan oleh Albert Einstein. Menurut dia, tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam.

Dengan menggabungkan metode deduktif Aristoteles dan metode induktif Bacon, Charles Darwin dapat dipandang sebagai pelopor metode keilmuan modern. Metode deduktif dan induktif yang digunakan secara komplementer dalam langkah-langkah pencarian kebenaran ilmiah telah menjadi pilihan cerdas untuk pengembangan ilmu ynag kini semakin pesat kemajuannya. Ilmuwan modern pada umumnya menggunakan metode induktif untuk mengembangkan hipotesis dari pengalaman. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan pengetahuan yang telah ada untuk menguji hipotesisnya. Fakta dan teori dijadikan alat konfirmasi terhadap hipotesis sehingga ia memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang dihadapinya. Pendekatan ganda ini menjadikan kegiatan keilmuan bersifat efisien dan efektif, sesuai peribahasa “Virtus stat in medio” (Kebijaksanaan berdiri di tengah-tengah).

George J. Mouly membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Pembagiannya ini mengingatkan kita pada tahap perkembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh van Peursen: tahap mistis, tahap ontologis, tahap fungsional. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pandangan mistis itu hingga kini masih berlangsung juga, bahkan di negara-negara yang peradabannya telah sangat maju.

Observasi sistematis dan kritis yang kemudian dilakukan telah mengembangkan pengetahuan manusia ke tahap ilmu empiris. Manusia mulai mengambil jarak dari obyek di sekitarnya dan mulai menelaah obyek-obyek itu. Langkah paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap ini, yakni ketika manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan melalui telaah sebab-musabab alamiah.

Penemuan yang semula terpisah-pisah mulai diintegrasikan ke dalam suatu struktur yang utuh dengan menguji hipotesis-hipotesis dalam kondisi yang terkontrol. Proses ini oleh Mouly dibagi menjadi dua tahap perkembangan yang saling bertautan:

1) tingkat empiris: ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukan dalam berbagai gejala dalam bentuk pernyataan serupa “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui alasan mengapa hal itu terjadi;

2) tingkat teoritis: penjelasan yang mengembangkan suatu struktur teoritis yang bukan hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, tetapi juga mulai mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.

Titik tolak ilmu adalah pengalaman. Ilmu mulai dengan suatu observasi dan menggabungkannya dengan observasi-observasi lain sehingga diperoleh suatu kesamaan atau perbedaan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan terjadi atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman. Jumlah dan ragam pengalaman yang terpisah-pisah itu harus direduksi sedemikian rupa hingga menjadi prinsip-prinsip dasar yang kokoh untuk menyatukan semua pengalaman yang bersifat lebih umum dan dapat diterapkan secara lebih luas.

Maka, prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional adalah klasifikasi. Dengan mengetahui kelas suatu gejala lewat identifikasi sifat-sifatnya yang spesifik menurut tujuan penelitian, kemungkinan terjadinya penumpukan koleksi data tanpa makna dapat diminimalisasi. Tetapi observasi kualitatif saja kurang memadai. Kuantifikasi dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi yang matang. Melalui klasifikasi yang demikian itu dapat diketahui adanya hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya. Hubungan fungsional antara berbagai gejala dapat diobservasi antara lain lewat klasifikasi maupun urutan kejadian. Namun pencarian hubungan-hubungan itu perlu dilaksanakan secara teliti karena adanya faktor kebetulan. Maka analisis terhadap suatu hal atau peristiwa harus memperhatikan unsur-unsur fundamental untuk menentukan secara lebih jelas hubungan-hubungan dari berbagai aspek. Dengan cara itulah diperoleh perkiraan kebenaran yang cukup untuk mendukung tujuan penelitian.

Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoritis yang menerangkan hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kelebihan ilmu teoritis dibandingkan ilmu empiris dapat dilihat dengan memperhatikan keterbatasan ilmu empiris yang canggung, tidak mudah diterapkan karena obyek/ subyek penelitian merupakan gejala yang terpisah-pisah. Ilmu empiris sangat terbatas terutama dalam peramalan dan kontrol yang merupakan tujuan terakhir dari ilmu. Ilmu teoritis dapat memperpendek proses untuk sampai pada pemecahan masalah. Kelebihan ilmu teoritis nyata dalam merangsang penelitian dan dalam memberikan hipotesis yang berharga sebagaimana terdapat pada ilmu fisika. Bom atom tidak dibuat secara empiris kemudian diterangkan, melainkan sebaliknya. Einstein dan para sejawatnya lebih dulu mengembangkannya secara teoritis dan mengujinya secara empiris sekadar untuk meminimalisasi kekurangan dalam pengoperasiannya.

Peralihan dari ilmu empiris ke ilmu teoritis adalah langkah yang sukar. Menemukan jawaban tentang apa yang terjadi relatif lebih mudah dibandingkan harus menjawab mengapa hal itu terjadi. Hingga kini ilmu empiris gagal menyusun kerangka teoritis yang merupakan sintesis dari serangkaian penemuan empiris (khususnya di bidang/ kajian ilmu sosial). Hal itu terjadi karena ilmu-ilmu sosial terlalu menitikberatkan aspek empiris dan melalaikan aspek teoritis. Padahal empirisme merupakan tahap keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan orientasi yang lebih besar teradap teori.

Hampir seluruh ilmu pendidikan merupakan ilmu empiris. Namun kenyataannya kita masih harus menemukan lebih banyak lagi hubungan empiris yang terdapat dalam kelas. Pada ilmu-ilmu sosial masih sulit ditemukan penjelasan secara keilmuan untuk sebagian besar masalah dari hal-hal yang paling elementer apa yang yang terjadi ketika seorang anak belajar. Dalam psikologi, misalnya, telah dikembangkan berbagai teori yang menerangkan sejumlah gejala psikologis, namun tak satu pun dari teori-teori itu yang dapat diterima oleh semua orang dan tak seorang pun mampu memberikan keterangan mengenai seluruh aspek kelakuan manusia.

Tidak demikian dengan ilmu-ilmu alam yang tampak lebih maju. Kendati tak satu pun dari ilmu-ilmu itu memiliki kesamaan pendapat dalam keseluruhan aspeknya, tetapi dalam fisika, misalnya, gejala cahaya dapat dijelaskan dengan dua buah teori yang bertentangan: teori gelombang dan teori partikel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar